Usai Silaturahmi Kebangsaan, Tokoh Nasional Ziarah Dimakam Raja Mataram

YOGYAKARTA – Lanjutan dari silaturahmi kebangsaan yang digelar di Kotagede, para tokoh nasional melakukan ziarah ke kompleks Makam Raja-Raja Mataram sebagai simbolisasi panggilan untuk kembali pada akar sejarah dan budaya bangsa. 3/9/25

Kegiatan ini menjadi penegasan bahwa solusi atas krisis nasional tidak cukup melalui pendekatan politik, tetapi
harus ditopang oleh pondasi jati diri yang kokoh.

Dalam ziarah yang penuh khidmat tersebut, tampak hadir tuan rumah Gus Raden Arya Pradana bersama Dr. K.H Mujab, Nyai Ocha, dan Mayjen (Purn) TNI Herwin Suparjo.Turut serta generasi penerus, Rr Kanaya dan Rr Aisharani, sebagai representasipentingnya pewarisan nilai-nilai luhur kepada kaum muda.

Sejarah sebagai Pijakan Kebesaran Bangsa Prof. Dr. Phil. K.H. M. Nur Kholis Setiawan, yang turut menggagas pertemuan ini,memberikan pengantar reflektif. Menurutnya, ziarah ini bukan sekadar ritual, melainkan sebuah pengingat kolektif.kata dia

 "Kita berdiri di atas pundak para raksasa. Para leluhur kita telah meletakkan dasar-dasar kebesaran Nusantara. Mengingat sejarah bukan berarti terbelenggu masa lalu, tetapi mengambil api semangatnya untuk menerangi jalan masa depan," ujarnya.

Gagasan ini diperkuat oleh Mayjen
(Purn) TNI Herwin Suparjo. Ia menegaskan bahwa bangsa yang melupakan sejarahnya akan kehilangan kompas dan semangat juang.

"Jangan pernah lupakan sejarah, kita ini bangsa yang besar," tegasnya. 

Beliau menambahkan Sejarah perjuanganpara pendahulu harus menjadi pijakan kita untuk terus berjuang sebagai bangsa yang besar.

Di tengah berbagai tantangan, ingatan akan kebesaran masa lalu memberikan kita kekuatandan keyakinan bahwa kita mampu mengatasi krisis seberat apapun.imbuhnya

Menghidupkan Nilai Luhur di Era Modern
Selain sejarah, diskusi juga mengerucut pada pentingnya menghidupkan kembali nilai-nilai dan budaya luhur bangsa. Dr. K.H Mujab menyoroti bahwa budaya Nusantara memiliki daya tahan yang luar biasa karena kelenturannya.

"Nilai-nilai luhur seperti gotong royong, tepo seliro (tenggang rasa), dan spiritualitas harus tetap dihidupkan dalam konteks kekinian," jelasnya.

 Menurutnya, budaya bukanlah barang
antik yang hanya dipajang, melainkan harus menjadi filter aktif untuk menyaring gempuran budaya asing yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa.

Nyai Ocha menambahkan bahwa peran perempuan dan ibu dalam transmisi budaya inisangat sentral.

 "Ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya. Dari sanalah nilai-nilai etika, sopan santun, dan kecintaan pada tradisi pertama kali ditanamkan," katanya.

Pendidikan Keluarga: Benteng Terakhir Ketahanan Bangsa Sebagai penutup, Gus Raden Arya Pradana menyimpulkan bahwa semua upaya pelestarian
budaya dan pemahaman sejarah bermuara pada satu titik: keluarga.

 Kehadiran putrinya, Rr Kanaya dan Rr Aisharani, dalam ziarah tersebut menjadi simbol konkret dari gagasannya.

"Pelestarian budaya yang paling efektif dimulai dari pendidikan di dalam rumah. Ketika orang tua mengenalkan anak pada sejarah leluhurnya, mengajarkan adab dan sopan santun,serta membiasakan tradisi yang baik, saat itulah kita sedang membangun ketahanan keluarga. Dan dari ketahanan keluarga yang kuat, akan lahir ketahanan bangsa yang kokoh,"
pungkasnya.(*)

Tidak ada komentar